Jumat, 14 November 2014

Fenomena Budaya Tawuran dan Cabe-Cabean



A.   LATAR BELAKANG
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah menyimpang.Fenomena kenakalan remaja, seperti membolos, tawuran, cabe-cabean, pencurian, seks bebas, narkoba, merupakan suatu penyimpangan perilaku yang dilakukan remaja sehingga mengganggu ketentraman diri sendiri dan orang lain.
Menurut Blumer (1971) dan Thompson (1988) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau dinyatakan oleh suatu entitas yang berpengaruh yang mengancam nilai-nilai suatu masyarakat sehingga berdampak kepada sebagian besar anggota masyarakat kondisi itu diharapkan dapat diatasi melalui kegiatan bersama.

B.   FENOMENA BUDAYA TAWURAN
Tawuran menjadi berita yang sering muncul. Tawuran antarmahasiswa atau tawuran antarkampung sering diekspose. Mahasiswa yang dikatakan makhluk intelek pun masih saja menggunakan jalan kekerasan ini sebagai solusi pertamanya. Sebuah pandangan dari Ilmu Sosiologi mengatakan bahwa tawuran kerap terjadi antarkelompok sosial dalam masyarakat. Biasanya pemicunya dari gesekan-gesekan antarindividu yang berkembang menjadi konflik kelompok. Karena adanya rasa saling memiliki dan rasa kesadaran sebagai bagian dari kelompoknya maka individu-individu yang tergabung dalam kelompok tersebut rela mengorbankan diri demi nama baik kelompoknya. Lihatlah bagaimana puluhan remaja rela berdarah-darah demi menjaga nama baik kampungnya. Atau beberapa mahasiswa rela terkena parang demi nama baik fakultasnya. Bukankah ini termasuk dalam teori ini.
Menurut para ahli, kebudayaan tawuran di kalangan masyarakat Indonesia dikarenakan oleh kondisi masyarakat seperti ini masih menganut sebuah solidaritas mekanik. Di mana rasa kesolidaritasan mereka sangat tinggi sekali dalam masalah kekeluargaan. Mereka akan menjaga satu sama lain serta saling memberi bila ada yang membutuhkan. Sayangnya solidaritas ini sangat rentan bila tereduksi dengan sebuah konflik. Karena tanpa klarifikasi yang jelas, seorang anggota kelompok tadi bisa mengangkat senjata demi nama baik kelompok. Mereka tidak akan mengklarifikasi dari mana masalah bermula. Ciri-ciri inilah yang terlihat pada masyarakat semi-desa (rural community) yang kondisi tatanan sosial masyarakatnya masih didominasi para generasi tua, pembagian kerja sangat tidak tegas, mengandalkan kolektivitas serta sangat erat dalam ikatan adat, dan solidaritas religius.
Tawuran merupakan masalah sosial yang ada di masyarakat baik itu diperkotaan atau di pedesaan sekalipun. Banyak sekali kerugian yang diakibatkan dari tawuran tersebut seperti banyak terjadi kerusakan, rasa tidak aman, kematian dan sebagainya. Namun tetap saja banyak pelaku tawuran yang seakan tidak peduli bahkan merasa bahwa tawuran merupakan jalan keluar untuk mengatasi setiap masalah. Tawuran juga bisa dikatakan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam melakukan transmisi budaya juga dapat menyebabkan permasalahan sosial. Cohen dalam bukunya “Delinquent Boys : The Culture of the Gang” (1955) memaparkan hasil penelitiannya. Ia memperlihatkan bahwa anak-anak kelas pekerja mungkin mengalami “anomie” di sekolah lapisan menengah sehingga mereka membentuk budaya yang anti nilai-nilai menengah. Melalui asosiasi diferensial, mereka meneruskan seperangkat norma yang dibutuhkan melawan norma-norma yang sah pada saat mempertahankan status dalam ‘gang’nya
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal tawuran. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat tawuran :
1.    Faktor internal.
Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2.    Faktor keluarga.
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau melakukan kekerasan yang sama. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, banyak anak akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya. Selain itu suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja. Menurut Hirschi (dalam Mussen dkk, 1994)
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa salah satu penyebab kenakalan remaja dikarenakan tidak berfungsinya orang tua sebagai figure teladan yang baik bagi anak (hawari, 1997). Sehingga peran besar keluarga dituntut untuk memberikan contoh yang baik agar anak-anak tidak mencari perilaku menyimpang seperti tawuran pelajar.
3.    Faktor sekolah.
Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam mendidik siswanya. Bagi Durkheim, sekolah mempunyai fungsi yang sangat penting dan sangat khusus untuk menciptakan makhluk baru, yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (Emile Durkheim, Leducation Morale ( Paris : Libraire Felix Alean, 1925), hal. 68. Untuk itu dibutuhkan sekali keselarasan antara harapan masyarakat dengan system pengajaran. Sekolah untuk lingkungan masyarakat militer harus berbeda dengan cara pengajaran di sekolah yang memperuntukkan anak didiknya untuk dunia industry. Namun, disamping itu semua hal yang paling penting dalam mengajar adalah menumbuhkan motivasi diri (self motivation) untuk belajar. Dengan ada keinginan sendiri untuk belajar bagi para siswa maka mereka akan bisa lebih fokus terhadap pelajaran yang diberikan oleh pengajar.
4.    Faktor lingkungan.
Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Lingkungan yang tidak menerima eksistensi para remaja juga menjadi slah satu faktor pemicu seorang pelajar atau remaja melakukan perbuatan-perbuatan anarki. Padahal pada usia remaja tersebut remaja dalam taraf pencarian jati diri, dan dibutuhkan sekali dukungan dan partisipasi warga masyarakat dilingkungan sekitar mereka berada. Hal itu bisa dilakukan dengan berbagai cara diantaranya mengadakan wadah organisasi pemuda, memberikan apresiasi terhadap remaja yang berprestasi, melibatkan remaja dalam berbagai kegiatan kemsyarakatan sampai dengan memberikan tanggung jawab yang lebih untuk menjadi panitia sebuah kegiatan yang diadakan oleh masyarakat. Hal-hal tersebut mungkin bisa diharapkan untuk meminimalisasi remaja untuk mencari kegiatan-kegiatan negatif di luar lingkungan mereka atau dengan kata lain untuk meminimalisasi tawuran.

C.   FENOMENA CABE-CABEAN

Dalam beberapa waktu terakhir, istilah ‘cabe-cabean’ dan ‘terong-terongan’ sedang ramai dibicarakan. Fenomena seperti apa itu hingga menjadi buah bibir masyarakat saat ini? ‘Cabe-cabean’ dan ‘terong-terongan’ merupakan sebutan-sebutan yang biasa digunakan oleh anak gaul zaman sekarang untuk menyebut atau memberikan sebutan pada remaja putri maupun remaja putra yang senangnya keluyuran malam dan nongkrong di tempat-tempat biasa mereka nongkrong seperti di pinggiran jalan, di bawah jembatan, dan di banyak tempat lainnya, yang beberapa tempat di antaranya merupakan tempat gelap sehingga meresahkan karena digunakan sebagai tempat nongkrong. Bagaimana tidak meresahkan? Terkadang mereka nongkrong di jalan-jalan gelap yang sangat sepi.
Cabe-cabean maupun terong-terongan diidentikkan dengan remaja dengan gaya pakaian tertentu dan tingkah laku remaja yang tidak pantas atau tidak baik, khususnya untuk anak-anak seusia mereka yang umumnya berkisaran SMA dan SMP bahkan SD. Seperti apa? Sedikit gambarannya seperti; ketika yang perempuan dengan usia mereka yang masih tergolong anak-anak menggunakan baju you can see dengan dipadu-padankan dengan celana pendek hot pants di tempat-tempat nongkrong dengan berpasang-pasangan dengan anak laki-laki seusia mereka, apalagi di waktu malam bahkan larut malam. Dan itu hanya satu dari sekian bentuk dari ciri-cirinya, sedangkan terong-terongan tertuju pada remaja laki-laki yang tergolong alay atau jamet dalam gaya berpakaian dan tingkah lakunya.
Istilah "cabe-cabean" ramai diberitakan belakangan ini. Bagi orang awam, istilah ini digunakan untuk menggambarkan gadis di bawah umur yang mulai merintis bisnis prostitusi. Awalnya, "cabe-cabean" adalah sebutan untuk perempuan ABG yang menjadi bahan taruhan di arena balap liar. "Cabe" balapan yang sudah sering berhubungan seksual memilih untuk menjual dirinya. Saat ini, ada tiga jenis "cabe", yakni "cabe ijo", "cabe merah", dan "cabe oranye". "Cabe ijo" yang memiliki kelas tertinggi dari kelas "cabe-cabean" itu merupakan gadis di bawah umur yang berusia sekitar 14-17 tahun. Tak sedikit dari mereka yang merupakan siswa sekolah menengah atas (SMA), bahkan beberapa ada yang masih berada di sekolah menengah pertama. Mereka memiliki gaya busana yang modis dan trendi, tetapi tidak menonjol.Berbeda dengan "cabe-cabean" lainnya, "cabe ijo" hanya dapat dijumpai di beberapa pusat perbelanjaan kelas atas ataupun lokasi-lokasi gaul di bilangan Jakarta.
Kebanyakan mereka ditemui secara berkelompok dan hanya memilih pelanggan yang sudah dikenalnya lewat media sosial, seperti Twitter dan Facebook."Cabe ijo" juga aktif di media sosial. Mereka kerap memasang foto-foto dengan pose tertentu dan informasi tarif di akun media sosial mereka. Mereka bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) untuk memenuhi kebutuhan tersier seperti membeli pakaian, telepon genggam, sehingga tidak mudah bagi pelanggan untuk menyewa jasanya karena harus melalui tahapan pendekatan. Pendekatan, di antaranya, bisa berupa mem-follow akun Twitter-nya, kerap me-retweet atau rajin memberikan komentar.
Sementara itu, "cabe merah" adalah PSK yang berusia 16-19 tahun. "Cabe merah" sedikit lebih menonjol karena berani mengenakan pakaian mini dan menonjolkan lekuk tubuh. Mereka pun kerap menghabiskan waktu di minimarket ataupun klub-klub malam di Jakarta."Cabe merah" relatif lebih mudah dicari. Mereka biasanya beroperasi sesuai jam operasional klub, mulai pukul 22.00-03.00. Transaksinya juga jelas, tinggal ditanya, langsung jalan. Selanjutnya "cabe oranye". Tipe ini biasanya berkumpul di taman, arena parkir liar, ataupun pinggir jalan. Pada beberapa kesempatan, "cabe-cabean" ini menggunakan berbagai modus untuk menjaring pelanggan, mulai dari mengamen ataupun ikut para pebalap liar. "Cabe oranye" menjadikan ini sebagai profesi tetap.
Dari berbagai literatur, kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua dan anak menjadi alasan nomor satu munculnya fenomena ini, perhatian dan kasih sayang orang tua sangat diperlukan anak, orang tua memiliki peran yang besar terhadap keberhasilan dan lurusnya jalan sang anak, seperti kita ketahui orang tua merupakan madrasah atau sekolah pertama dan paling penting bagi anak.
Kedua orang tua juga lah yang menanamkan pondasi dalam pembangunan mental, rohani dan jasmani sehingga ketika madrasah atau sekolah pertama tidak mampu memberikan kontribusi yang positif dan rasa nyaman maka sang anak memilih keluar dari madrasah atau lingkungan orang tua dan mencari kenyamanan lain yang tidak pernah didapatkan dari orangtua.
Kesalahannya kemudian ketika anak keluar dari lingkungan orang tua, terjadi salah langkah, anak-anak kemudian masuk pada lingkungan negatif, berkumpul dengan teman-teman yang bernasib sama dan menciptakan situasi yang dianggap menyenangkan namun sebenarnya berefek negatif, maka muncullah sekumpulan cabe-cabean, kimcil dan berbagai istilah lain yang menjurus pada fenomena negatif yang dilakukan anak-anak.
Kemudian  selanjutnya faktor media, saat ini media televisi khususnya, banyak mempertontonkan atau bahkan mencontohkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik seperti cara berpakaian atau pun cinta-cintaan yang masih belum pantas untuk dialami oleh anak-anak.

D. USAHA MENGAHADAPI DAN MENGATASI

Banyak solusi yang ditawarkan oleh para ahli hingga para tokoh masyarakat untuk menanggulangi kenakalan remaja yang berupa tawuran pelajar atau cabe-cabean. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat digunakan sebagai salah satu cara meminimalisasi sebagai berikut :

1.      Kegagalan mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau diatasi dengan prinsip keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur orang-orang dewasa yang telah melampaui masa remajanya dengan baik juga mereka yang berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya gagal pada tahap ini.
2.      Adanya motivasi dari keluarga, guru, teman sebaya untuk melakukan point pertama.
3.      Kemauan orangtua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja.
4.      Remaja pandai memilih teman dan lingkungan yang baik serta orangtua memberi arahan dengan siapa dan di komunitas mana remaja harus bergaul.
5.      Remaja membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman sebaya atau komunitas yang ada tidak sesuai dengan harapan.

Cara lain yang ditawarkan oleh Kartini Kartono memberikan beberapa cara untuk meminimalisasi yang terurai sebagai berikut:

1.      Banyak mawas diri, melihat kelemahan dan kekurangan sendiri dan melakukan koreksi terhadap kekeliruan yang sifatnya tidak mendidik dan tidak menuntun
2.      Memberikan kesempatan kepada remaja untuk beremansipasi dengan cara yang baik dan sehat
3.      Memberikan bentuk kegiatan dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan remaja zaman sekarang serta kaitannya dengan perkembangan bakat dan potensi remaja

Faktor lain, Kita harus cukup cerdas dalam menyaring acara-acara ataupun channel televisi di rumah, membagi jam yang aman untuk anak-anak khususnya menonton televisi merupakan salah satu langkah yang baik. Dalam pertelevisian Indonesia ada komisi penyiaran yang bertugas membatasi ataupun menyensor adegan-adegan yang tidak pantas dengan memberikan teguran bertahap atau menghentikan suatu program acara akan tetapi  rasanya tidak maksimal jika kita hanya mengandalkan itu saja, kita punya hak untuk menuntut atau menghentikan suatu acara atau program yang dianggap meresahkan secara langsung dengan memberikan teguran kepada pihak stasiun TV terkait ataupun dengan memanfaatkan jejaring sosial yang ada, mungkin akan sulit memang bila kita bergerak seorang diri, tapi dengan semakin berkembangnya media yang ada akan dapat membantu kita menggerakkan banyak orang dengan satu kepentingan yang sama.Tentu bukan hanya media televisi saja yang harus di waspadai, media sosial sekarang ini bisa menjadi ancaman utama bila dalam penggunaannya tidak secara bijak.
Orang tua wajib  memonitor aktivitas anaknya di jejaring sosial, jadi orang tua pun harus melek internet, rasanya tidak mungkin bila orang tua hanya mengawasi sepenuhnya kegiatan anaknya di depan komputer, hal tersebut tidak akan maksimal bila orang tua tidak ikut ambil bagian dalam aktivitas anaknya di dunia maya. Dan bagi  kita yang aktif dalam berbagai media seperti Twitter, Facebook dan lain sebagainya, harus memberikan contoh yang baik kepada followers maupun pertemanan di sosial media secara lebih bijak seperti dengan lebih banyak men-share- informasi-informasi bermanfaat, artikel mendidik ataupun status yang tidak mengandung unsur negatif, jangan segan-segan memblokir atau memberi pengaduan kepada Facebook terkait foto atau pun konten yang dianggap meresahkan.

E. KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas, dapat saya simpulkan bahwa masyarakat kita di Indonesia ini belumlah dewasa dalam cara berfikir dan watak keras di kalangan masyarakat masih sangat kental. Hal ini dapat dilihat dalam pemberitaan di media cetak maupun elektronik, dan kerugian yang disebabkan oleh perilaku yang sangat tidak terpuji ini adalah tidak bisa dianggap remeh dan dipandang sebelah mata. Kita sebagai masyarakat Indonesia dan sebagai remaja yang menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan serta rasa perdamaian. Kita seharusnya bersedih hati melihat masalah sosial  yang terjadi di negri kita ini.
Dari fenomena ini kita mengambil pelajaran, bahwa sangat penting mengembalikan anak ke rumahnya dengan perhatian dan kasih sayang orang tua, berhentilah mengumbar ego antar pasangan yang berujung pada keretakan keluarga, ciptakanlah rasa persahabatan dengan anak dan keluarga sehingga anak lebih nyaman berada di rumah bersama keluarga daripada keluyuran dan melakukan tindakan-tindakan yang negatif dan dapat merusak masa depannya.

DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar