A. LATAR BELAKANG
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke
dalam perilaku menyimpang. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial
terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan
sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang
dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem
sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung makna
bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur
tersebut berarti telah menyimpang.Fenomena kenakalan remaja, seperti membolos,
tawuran, cabe-cabean, pencurian, seks bebas, narkoba, merupakan suatu
penyimpangan perilaku yang dilakukan remaja sehingga mengganggu ketentraman
diri sendiri dan orang lain.
Menurut Blumer (1971) dan Thompson (1988) mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau
dinyatakan oleh suatu entitas yang berpengaruh yang mengancam nilai-nilai suatu
masyarakat sehingga berdampak kepada sebagian besar anggota masyarakat kondisi
itu diharapkan dapat diatasi melalui kegiatan bersama.
B. FENOMENA BUDAYA TAWURAN
Tawuran menjadi berita yang sering muncul. Tawuran antarmahasiswa
atau tawuran antarkampung sering diekspose. Mahasiswa yang dikatakan makhluk
intelek pun masih saja menggunakan jalan kekerasan ini sebagai solusi
pertamanya. Sebuah pandangan dari Ilmu Sosiologi mengatakan bahwa tawuran kerap
terjadi antarkelompok sosial dalam masyarakat. Biasanya pemicunya dari
gesekan-gesekan antarindividu yang berkembang menjadi konflik kelompok. Karena
adanya rasa saling memiliki dan rasa kesadaran sebagai bagian dari kelompoknya
maka individu-individu yang tergabung dalam kelompok tersebut rela mengorbankan
diri demi nama baik kelompoknya. Lihatlah bagaimana puluhan remaja rela
berdarah-darah demi menjaga nama baik kampungnya. Atau beberapa mahasiswa rela
terkena parang demi nama baik fakultasnya. Bukankah ini termasuk dalam teori
ini.
Menurut para ahli, kebudayaan tawuran di kalangan masyarakat
Indonesia dikarenakan oleh kondisi masyarakat seperti ini masih menganut sebuah
solidaritas mekanik. Di mana rasa kesolidaritasan mereka sangat tinggi sekali
dalam masalah kekeluargaan. Mereka akan menjaga satu sama lain serta saling
memberi bila ada yang membutuhkan. Sayangnya solidaritas ini sangat rentan bila
tereduksi dengan sebuah konflik. Karena tanpa klarifikasi yang jelas, seorang
anggota kelompok tadi bisa mengangkat senjata demi nama baik kelompok. Mereka
tidak akan mengklarifikasi dari mana masalah bermula. Ciri-ciri inilah yang
terlihat pada masyarakat semi-desa (rural community) yang kondisi tatanan
sosial masyarakatnya masih didominasi para generasi tua, pembagian kerja sangat
tidak tegas, mengandalkan kolektivitas serta sangat erat dalam ikatan adat, dan
solidaritas religius.
Tawuran merupakan masalah sosial yang ada di masyarakat baik itu
diperkotaan atau di pedesaan sekalipun. Banyak sekali kerugian yang diakibatkan
dari tawuran tersebut seperti banyak terjadi kerusakan, rasa tidak aman,
kematian dan sebagainya. Namun tetap saja banyak pelaku tawuran yang seakan tidak
peduli bahkan merasa bahwa tawuran merupakan jalan keluar untuk mengatasi
setiap masalah. Tawuran juga bisa dikatakan sebagai ketidakmampuan seseorang
dalam melakukan transmisi budaya juga dapat menyebabkan permasalahan sosial.
Cohen dalam bukunya “Delinquent Boys : The Culture of the Gang” (1955)
memaparkan hasil penelitiannya. Ia memperlihatkan bahwa anak-anak kelas pekerja
mungkin mengalami “anomie” di sekolah lapisan menengah sehingga mereka
membentuk budaya yang anti nilai-nilai menengah. Melalui asosiasi diferensial,
mereka meneruskan seperangkat norma yang dibutuhkan melawan norma-norma yang
sah pada saat mempertahankan status dalam ‘gang’nya
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi
antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau
tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal tawuran. Bila
dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja
terlibat tawuran :
1. Faktor internal.
Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan
adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya
keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari
lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya
menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat
perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi
itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat
melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap
masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah.
Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik
batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan
orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat
membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga.
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau
pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar
bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar
kalau melakukan kekerasan yang sama. Sebaliknya, orang tua yang terlalu
melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak
mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung
dengan teman-temannya, banyak anak akan menyerahkan dirinya secara total
terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya. Selain itu
suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta
hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi
setiap usia terutama pada masa remaja. Menurut Hirschi (dalam Mussen dkk, 1994)
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa salah satu penyebab
kenakalan remaja dikarenakan tidak berfungsinya orang tua sebagai figure
teladan yang baik bagi anak (hawari, 1997). Sehingga peran besar keluarga
dituntut untuk memberikan contoh yang baik agar anak-anak tidak mencari perilaku
menyimpang seperti tawuran pelajar.
3. Faktor sekolah.
Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus
mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai
dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak
merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton,
peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas
praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar
sekolah bersama teman-temannya. Setelah itu masalah pendidikan, di mana guru
jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai
penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya
juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam mendidik
siswanya. Bagi Durkheim, sekolah mempunyai fungsi yang sangat penting dan
sangat khusus untuk menciptakan makhluk baru, yang dibentuk sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. (Emile Durkheim, Leducation Morale ( Paris : Libraire
Felix Alean, 1925), hal. 68. Untuk itu dibutuhkan sekali keselarasan antara
harapan masyarakat dengan system pengajaran. Sekolah untuk lingkungan
masyarakat militer harus berbeda dengan cara pengajaran di sekolah yang
memperuntukkan anak didiknya untuk dunia industry. Namun, disamping itu semua
hal yang paling penting dalam mengajar adalah menumbuhkan motivasi diri (self
motivation) untuk belajar. Dengan ada keinginan sendiri untuk belajar bagi para
siswa maka mereka akan bisa lebih fokus terhadap pelajaran yang diberikan oleh
pengajar.
4. Faktor lingkungan.
Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja
alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan
rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk
(misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering
menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh
kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari
lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk
munculnya perilaku berkelahi.
Lingkungan yang tidak menerima eksistensi para remaja juga menjadi
slah satu faktor pemicu seorang pelajar atau remaja melakukan
perbuatan-perbuatan anarki. Padahal pada usia remaja tersebut remaja dalam
taraf pencarian jati diri, dan dibutuhkan sekali dukungan dan partisipasi warga
masyarakat dilingkungan sekitar mereka berada. Hal itu bisa dilakukan dengan
berbagai cara diantaranya mengadakan wadah organisasi pemuda, memberikan
apresiasi terhadap remaja yang berprestasi, melibatkan remaja dalam berbagai
kegiatan kemsyarakatan sampai dengan memberikan tanggung jawab yang lebih untuk
menjadi panitia sebuah kegiatan yang diadakan oleh masyarakat. Hal-hal tersebut
mungkin bisa diharapkan untuk meminimalisasi remaja untuk mencari
kegiatan-kegiatan negatif di luar lingkungan mereka atau dengan kata lain untuk
meminimalisasi tawuran.
C. FENOMENA CABE-CABEAN
Dalam beberapa waktu terakhir, istilah ‘cabe-cabean’ dan ‘terong-terongan’
sedang ramai dibicarakan. Fenomena seperti apa itu hingga menjadi buah bibir
masyarakat saat ini? ‘Cabe-cabean’ dan ‘terong-terongan’ merupakan
sebutan-sebutan yang biasa digunakan oleh anak gaul zaman sekarang untuk
menyebut atau memberikan sebutan pada remaja putri maupun remaja putra yang
senangnya keluyuran malam dan nongkrong di tempat-tempat biasa mereka nongkrong
seperti di pinggiran jalan, di bawah jembatan, dan di banyak tempat lainnya,
yang beberapa tempat di antaranya merupakan tempat gelap sehingga meresahkan
karena digunakan sebagai tempat nongkrong. Bagaimana tidak meresahkan?
Terkadang mereka nongkrong di jalan-jalan gelap yang sangat sepi.
Cabe-cabean maupun terong-terongan diidentikkan dengan remaja
dengan gaya pakaian tertentu dan tingkah laku remaja yang tidak pantas atau
tidak baik, khususnya untuk anak-anak seusia mereka yang umumnya berkisaran SMA
dan SMP bahkan SD. Seperti apa? Sedikit gambarannya seperti; ketika yang
perempuan dengan usia mereka yang masih tergolong anak-anak menggunakan baju you
can see dengan dipadu-padankan dengan celana pendek hot pants di
tempat-tempat nongkrong dengan berpasang-pasangan dengan anak laki-laki seusia
mereka, apalagi di waktu malam bahkan larut malam. Dan itu hanya satu dari
sekian bentuk dari ciri-cirinya, sedangkan terong-terongan tertuju pada remaja
laki-laki yang tergolong alay atau jamet dalam gaya berpakaian
dan tingkah lakunya.
Istilah "cabe-cabean" ramai diberitakan belakangan ini.
Bagi orang awam, istilah ini digunakan untuk menggambarkan gadis di bawah umur
yang mulai merintis bisnis prostitusi. Awalnya, "cabe-cabean" adalah
sebutan untuk perempuan ABG yang menjadi bahan taruhan di arena balap liar.
"Cabe" balapan yang sudah sering berhubungan seksual memilih untuk
menjual dirinya. Saat ini, ada tiga jenis "cabe", yakni "cabe
ijo", "cabe merah", dan "cabe oranye". "Cabe
ijo" yang memiliki kelas tertinggi dari kelas "cabe-cabean" itu
merupakan gadis di bawah umur yang berusia sekitar 14-17 tahun. Tak sedikit
dari mereka yang merupakan siswa sekolah menengah atas (SMA), bahkan beberapa
ada yang masih berada di sekolah menengah pertama. Mereka memiliki gaya busana
yang modis dan trendi, tetapi tidak menonjol.Berbeda dengan
"cabe-cabean" lainnya, "cabe ijo" hanya dapat dijumpai di
beberapa pusat perbelanjaan kelas atas ataupun lokasi-lokasi gaul di bilangan
Jakarta.
Kebanyakan mereka ditemui secara berkelompok dan hanya memilih
pelanggan yang sudah dikenalnya lewat media sosial, seperti Twitter dan
Facebook."Cabe ijo" juga aktif di media sosial. Mereka kerap memasang
foto-foto dengan pose tertentu dan informasi tarif di akun media sosial mereka.
Mereka bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) untuk memenuhi kebutuhan
tersier seperti membeli pakaian, telepon genggam, sehingga tidak mudah bagi
pelanggan untuk menyewa jasanya karena harus melalui tahapan pendekatan.
Pendekatan, di antaranya, bisa berupa mem-follow akun Twitter-nya, kerap
me-retweet atau rajin memberikan komentar.
Sementara itu, "cabe merah" adalah PSK yang berusia
16-19 tahun. "Cabe merah" sedikit lebih menonjol karena berani
mengenakan pakaian mini dan menonjolkan lekuk tubuh. Mereka pun kerap
menghabiskan waktu di minimarket ataupun klub-klub malam di Jakarta."Cabe
merah" relatif lebih mudah dicari. Mereka biasanya beroperasi sesuai jam
operasional klub, mulai pukul 22.00-03.00. Transaksinya juga jelas, tinggal
ditanya, langsung jalan. Selanjutnya "cabe oranye". Tipe ini biasanya
berkumpul di taman, arena parkir liar, ataupun pinggir jalan. Pada beberapa
kesempatan, "cabe-cabean" ini menggunakan berbagai modus untuk
menjaring pelanggan, mulai dari mengamen ataupun ikut para pebalap liar.
"Cabe oranye" menjadikan ini sebagai profesi tetap.
Dari berbagai literatur, kurangnya perhatian dan kasih sayang
orang tua dan anak menjadi alasan nomor satu munculnya fenomena ini, perhatian
dan kasih sayang orang tua sangat diperlukan anak, orang tua memiliki peran
yang besar terhadap keberhasilan dan lurusnya jalan sang anak, seperti kita
ketahui orang tua merupakan madrasah atau sekolah pertama dan paling penting
bagi anak.
Kedua orang tua juga lah yang menanamkan pondasi dalam pembangunan
mental, rohani dan jasmani sehingga ketika madrasah atau sekolah pertama tidak
mampu memberikan kontribusi yang positif dan rasa nyaman maka sang anak memilih
keluar dari madrasah atau lingkungan orang tua dan mencari kenyamanan lain yang
tidak pernah didapatkan dari orangtua.
Kesalahannya kemudian ketika anak keluar dari lingkungan orang
tua, terjadi salah langkah, anak-anak kemudian masuk pada lingkungan negatif,
berkumpul dengan teman-teman yang bernasib sama dan menciptakan situasi yang
dianggap menyenangkan namun sebenarnya berefek negatif, maka muncullah
sekumpulan cabe-cabean, kimcil dan berbagai istilah lain yang menjurus pada
fenomena negatif yang dilakukan anak-anak.
Kemudian selanjutnya faktor
media, saat ini media televisi khususnya, banyak mempertontonkan atau bahkan
mencontohkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik seperti cara berpakaian atau
pun cinta-cintaan yang masih belum pantas untuk dialami oleh anak-anak.
D. USAHA MENGAHADAPI DAN MENGATASI
Banyak solusi yang ditawarkan oleh para ahli hingga para tokoh
masyarakat untuk menanggulangi kenakalan remaja yang berupa tawuran pelajar
atau cabe-cabean. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat digunakan sebagai
salah satu cara meminimalisasi sebagai berikut :
1.
Kegagalan mencapai identitas
peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau diatasi dengan prinsip
keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur orang-orang
dewasa yang telah melampaui masa remajanya dengan baik juga mereka yang
berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya gagal pada tahap ini.
2.
Adanya motivasi dari
keluarga, guru, teman sebaya untuk melakukan point pertama.
3.
Kemauan orangtua untuk membenahi
kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan
nyaman bagi remaja.
4.
Remaja pandai memilih teman
dan lingkungan yang baik serta orangtua memberi arahan dengan siapa dan di
komunitas mana remaja harus bergaul.
5.
Remaja membentuk ketahanan
diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman sebaya atau komunitas
yang ada tidak sesuai dengan harapan.
Cara lain yang ditawarkan oleh Kartini Kartono memberikan beberapa
cara untuk meminimalisasi yang terurai sebagai berikut:
1.
Banyak mawas diri, melihat
kelemahan dan kekurangan sendiri dan melakukan koreksi terhadap kekeliruan yang
sifatnya tidak mendidik dan tidak menuntun
2.
Memberikan kesempatan kepada
remaja untuk beremansipasi dengan cara yang baik dan sehat
3.
Memberikan bentuk kegiatan
dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan remaja zaman sekarang serta
kaitannya dengan perkembangan bakat dan potensi remaja
Faktor lain, Kita harus cukup cerdas dalam menyaring acara-acara
ataupun channel televisi di rumah, membagi jam yang aman untuk anak-anak
khususnya menonton televisi merupakan salah satu langkah yang baik. Dalam
pertelevisian Indonesia ada komisi penyiaran yang bertugas membatasi ataupun
menyensor adegan-adegan yang tidak pantas dengan memberikan teguran bertahap
atau menghentikan suatu program acara akan tetapi rasanya tidak maksimal jika kita hanya
mengandalkan itu saja, kita punya hak untuk menuntut atau menghentikan suatu
acara atau program yang dianggap meresahkan secara langsung dengan memberikan
teguran kepada pihak stasiun TV terkait ataupun dengan memanfaatkan jejaring
sosial yang ada, mungkin akan sulit memang bila kita bergerak seorang diri,
tapi dengan semakin berkembangnya media yang ada akan dapat membantu kita
menggerakkan banyak orang dengan satu kepentingan yang sama.Tentu bukan hanya
media televisi saja yang harus di waspadai, media sosial sekarang ini bisa
menjadi ancaman utama bila dalam penggunaannya tidak secara bijak.
Orang tua wajib memonitor
aktivitas anaknya di jejaring sosial, jadi orang tua pun harus melek internet,
rasanya tidak mungkin bila orang tua hanya mengawasi sepenuhnya kegiatan
anaknya di depan komputer, hal tersebut tidak akan maksimal bila orang
tua tidak ikut ambil bagian dalam aktivitas anaknya di dunia maya. Dan
bagi kita yang aktif dalam
berbagai media seperti Twitter, Facebook dan lain sebagainya, harus memberikan
contoh yang baik kepada followers maupun pertemanan di sosial media
secara lebih bijak seperti dengan lebih banyak men-share- informasi-informasi
bermanfaat, artikel mendidik ataupun status yang tidak mengandung unsur negatif,
jangan segan-segan memblokir atau memberi pengaduan kepada Facebook terkait
foto atau pun konten yang dianggap meresahkan.
E. KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas, dapat saya simpulkan bahwa masyarakat kita
di Indonesia ini belumlah dewasa dalam cara berfikir dan watak keras di
kalangan masyarakat masih sangat kental. Hal ini dapat dilihat dalam
pemberitaan di media cetak maupun elektronik, dan kerugian yang disebabkan oleh
perilaku yang sangat tidak terpuji ini adalah tidak bisa dianggap remeh dan
dipandang sebelah mata. Kita sebagai masyarakat Indonesia dan sebagai remaja
yang menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan serta rasa perdamaian. Kita
seharusnya bersedih hati melihat masalah sosial
yang terjadi di negri kita ini.
Dari fenomena ini kita mengambil pelajaran, bahwa sangat penting
mengembalikan anak ke rumahnya dengan perhatian dan kasih sayang orang tua,
berhentilah mengumbar ego antar pasangan yang berujung pada keretakan keluarga,
ciptakanlah rasa persahabatan dengan anak dan keluarga sehingga anak lebih
nyaman berada di rumah bersama keluarga daripada keluyuran dan melakukan
tindakan-tindakan yang negatif dan dapat merusak masa depannya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar