Sabtu, 22 November 2014

Senandung Hujan


Sebagian orang akan merutuki hujan. Cuaca dingin menusuk tulang kata mereka. Padahal cangkir-cangkir teh hangat akan mencetus pembicaraan diatas meja makan.

Sebagian orang memilih menyalahkan hujan. Atap bocor, air merembes tidak nyaman kata mereka. Padahal banyak ayah uang terburu-buru pulang untuk membenarkan atap yang bocor, bersiasat mengatasi rembesan air, rasa saling membutuhkan dalam keluarga itu tumbuh lagi.

Sebagian orang tidak menyukai hujan. Anak-anak mereka menjadi sakit. Padahal hujan menyatukan keluarga, para ibu yang terlalu sibuk dengan pekerjaan kantor akan mengabaikan rutinitasnya, memeluk anak-anak yang demam, mengawasi mereka hingga penyakitnya mereda dan tertidur lelap, sesuatu yang mungkin terlewati bertahun-tahun lamanya.

Sebagian orang mengeluh soal hujan. Jalanan banjir, macet tak terelakkan. Padahal ternyata hujan membuat mereka saling berbicara di dalam mobil tatkala macet. Hujan memberikan rejeki pada para pembersih gorong-gorong atau penjual jasa angkut sepeda motor di gerobak atau anak-anak kecil riang berenang karena selama hidup tak ada biaya membayar tiket kolam renang.

Sebagian orang marah karena hujan. Khawatir basah dan menghambat mobilitas. Padahal banyak suami-istri yang akhirnya tertahan di rumah, menjalin kemesraan setelah bertahun-tahun lupa bagaimana memadu kasih karena sibuk mengejar target hidup dan membesarkan anak-anak.

Hujan tidak pernah salah, ia menghangatkan hati yang berpeluh lara, tanpa disadari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar